Nama atau julukan madzhab Wahabi/Salafi ini tidak lain dikaitkan pada kelompok muslimin yang berpegang dengan akidah atau keyakinan Muhammad Ibnu Abdul Wahhab, yang mengaku sebagai penerus Ibnu Taimiyyah (kita bicarakan tersendiri mengenai sejarah singkat Ibnu Abdul Wahhab). Golongan ini sering menafsirkan ayat al-Qur’an dan hadits Nabi saw. secara tekstual (apa adanya kalimat) dan literal (makna yang sebenarnya) atau harfiah dan meniadakan arti majazi atau kiasan. Oleh karenanya orang akan lebih mudah terjerumus kepada penjasmanian (tajsim) dan penyerupaan (tasybih) Allah swt. kepada makhluk-Nya. Insya Allah nanti kita utarakan tersendiri contoh riwayat-riwayat yang bila kita pahami secara tekstual, jelas akan mengarah kepada Tajsim dan Tasybih. Pada kenyataannya terdapat ayat al-Qur’an yang mempunyai arti harfiah dan ada juga yang mempunyai arti majazi atau kiasan, yang mana kata-kata Allah swt. harus diartikan sesuai dengan ke Mahasucian dan ke Maha agungan-Nya..
Banyak ulama yang mengeritik dan menolak akidah Tajsim/Penjasmanian dan Tasybih atau Penyerupaan Allah swt. terhadap makhluk-Nya,. karena bertentangan dengan firman Allah swt. antara lain: Dalam surat Syuura (42) : 11; ‘Tiada sesuatupun yang menyerupai-Nya’. Surat Al-An’aam (6): 103; ‘ Tiada Ia tercapai oleh penglihatan mata’. Surat Ash-Shaffaat (37) : 159; ‘Mahasuci Allah dari apa yang mereka sifatkan’, dan ayat-ayat lain yang serupa maknanya.
Dengan adanya penafsiran Al-Qur’an dan Sunnah Rasulallah saw. secara tekstual dan literal ini, maka orang akan mudah membid’ahkan dan mensyirikkan Tawassul (berdo’a pada Allah sambil menyertakan nama Rasulallah atau seorang sholeh/wali dalam do’a itu), Tabarruk (pengambilan barokah), permohonan syafa’at pada Rasulallah saw. dan para wali Allah. Golongan ini juga melarang orang mengadakan peringatan-peringatan yang berkaitan dengan sejarah Islam (maulidin Nabi saw, isra-mi'raja dll.), kumpulan majlis-majlis dzikir (istighothah, tahlilan dan sebagainya), ziarah kubur, taqlid (ikut-ikutan) kepada imam madzhab dan lain sebagainya. Insya Allah, semuanya ini akan kami uraikan sendiri pada babnya masing-masing.
Golongan Salafi/Wahabi dan pengikutnya ini sering berkata, bahwa mereka akan mengajarkan syari’at Islam yang paling murni dan paling benar, oleh karenanya mudah mensesatkan sampai-sampai berani mengkafirkan, mensyirikkan sesama muslimin yang tidak sependapat atau sepaham dengan mereka. (baca uraian pada halaman selanjutnya).
Menurut pendapat sebagian orang bahwa paham golongan Wahabi/Salafi (baca makalah di website-website yang menentang ajaran sekte Wahabi/Salafi umpama disitus www.abusalafy.wordpress, www.salafytobat.wordpress, www.majlisrasulllah. dll.) pada zaman modern ini seperti golongan al-Hasyawiyyah, karena kepercayaan-kepercayaan dan pendapat-pendapat mereka mirip dengan golongan yang dikenali sebagai al-Hasyawiyyah pada abad-abad yang awal. Istilah al-Hasyawiyyah adalah berasal daripada kata dasar al-Hasyw yaitu penyisipan, pemasangan dan kemasukan.
Ahmad bin Yahya al-Yamani (m.840H/1437M) mencatatkan bahwa: Nama al-Hasyawiyyah digunakan kepada orang-orang yang meriwayatkan hadits-hadits sisipan yang sengaja dimasukkan oleh golongan al-Zanadiqah sebagaimana sabda Nabi saw. dan mereka menerimanya tanpa melakukan interpretasi semula, dan mereka juga menggelarkan diri mereka Ashab al-Hadith dan Ahlal-Sunnah wa al-Jama‘ah...Mereka bersepakat mempercayai konsep pemaksaan (Allah berhubungan dengan perbuatan manusia) dan tasybih (bahwa Allah seperti makhluk-Nya) dan mempercayai bahwa Allah mempunyai jasad dan bentuk serta mengatakan bahwa Allah mempunyai anggota tubuh dan lain sebagainya.(baca riwayat-riwayat tajsim, tasybih pada halaman selanjutnya).
Al-Syahrastani (467-548H/1074-1153M) menuliskan bahwa: Terdapat sebuah kumpulan Ashab al-Hadits, yaitu al-Hasyawiyyah dengan jelas menunjukkan kepercayaan mereka tentang tasybih (yaitu Allah serupa makhluk-Nya, baca uraian selanjutnya mengenai tajsim/tasybih) ...sehingga mereka sanggup mengatakan, bahwa pada suatu ketika, kedua-dua mata Allah kesedihan, lalu para malaikat datang menemui-Nya dan Dia (Allah) menangisi (kesedihan) berakibat banjir Nabi Nuh a.s sehingga mata-Nya menjadi merah, dan ‘Arasy meratap hiba seperti suara pelana baru dan bahwa Dia melampaui ‘Arasy dalam keadaan melebihi empat jari di segenap sudut. [Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, h.141.]
Begitu juga paham sekte Wahabi ini seakan-akan menjiplak atau mengikuti kaum Khawarij, yang juga mudah mengkafirkan, mensyirikkan, mensesatkan sesama muslimin karena tidak sependapat dengan pahamnya. Kaum khawarij ini kelompok pertama yang secara terang-terangan menonjolkan akidahnya dan bersitegang leher mempertahankan prinsip keketatan dan kekerasan terhadap kaum muslimin yang tidak sependapat dan sepaham dengan mereka. Kaum khawarij ini mengkafirkan Amirul Mu’minin sayidina Ali bin Abi Thalib kw dan para sahabat Nabi saw. yang mendukungnya. Kelompok ini ditetapkan oleh semua ulama Ahlus-Sunnah sebagai ahlul-bid’ah, dan dhalalah/sesat berdasarkan dzwahirin-nash (makna harfiah nash) serta keumuman maknanya yang berlaku terhadap kaum musyrikin. Kaum ini mudah sekali mengkafir-kafirkan kaum muslimin yang tidak sepaham dengan mereka, menghalalkan pembunuhan, perampasan harta kaum muslimin selain golongannya/ madzhabnya.
Ibnu Mardawih mengetengahkan sebuah riwayat berasal dari Mas’ab bin Sa’ad yang menuturkan sebagai berikut: “Pernah terjadi peristiwa, seorang dari kaum Khawarij menatap muka Sa’ad bin Abi Waqqash (ayah Mas’ab) ra. Beberapa saat kemudian orang Khawarij itu dengan galak berkata: ‘Inilah dia, salah seorang pemimpin kaum kafir’! Dengan sikap siaga Sa’ad menjawab; ‘Engkau bohong! Justru aku telah memerangi pemimpin-pemimpin kaum kafir‘. Orang khawarij yang lain berkata: ‘Engkau inilah termasuk orang-orang yang paling merugi amal perbuatannya‘! Sa’ad menjawab : ‘Engkau bohong juga! Mereka itu adalah orang-orang yang mengingkari tanda-tanda kekuasaan Allah, Tuhan mereka, mengingkari perjumpaan dengan-Nya’! (yakni tidak percaya bahwa pada hari kiamat kelak akan dihadapkan kepada Allah swt.). Riwayat ini dikemukakan juga oleh Al-Hafidz didalam Al-Fath.
Thabrani mengetengahkan sebuah riwayat didalam Al-Kabir dan Al-Ausath, bahwa “ ‘Umarah bin Qardh dalam tugas operasi pengamanan ketempat suara adzan itu dengan maksud hendak menunaikan sholat berjama’ah. Tetapi alangkah terkejutnya, ketika tiba disana ternyata ia berada ditengah kaum Khawarij sekte Azariqah. Mereka menegurnya: ‘Hai musuh Allah, apa maksudmu datang kemari’?! Umarah menjawab dengan tegas: ‘Kalian bukan kawan-kawanku’ ! Mereka menyahut: ‘Ya, engkau memang kawan setan, dan engkau harus kami bunuh’ ! Umarah berkata; ‘ Apakah engkau tidak senang melihatku seperti ketika Rasulallah saw. dahulu melihatku’? Mereka bertanya: ‘Apa yang menyenangkan beliau darimu’? ‘Umarah menjawab: ‘ Aku datang kepada beliau saw. sebagai orang kafir, lalu aku mengikrarkan kesaksianku, bahwasanya tiada tuhan selain Allah dan bahwa beliau saw. adalah benar-benar utusan Allah. Beliau saw. kemudian membiarkan aku pergi’. Akan tetapi sekte Azariqah tidak puas dengan jawaban ‘Umarah seperti itu. Ia lalu diseret dan dibunuh”.
Peristiwa ini dimuat juga sebagai berita yang benar dari sumber-sumber yang dapat dipercaya. Sikap dan tindakan kaum khawarij tersebut jelas mencerminkan penyelewengan akidah mereka, dan itu merupakan dhalalah/kesesatan. Perbuatan mereka ini telah dan selalu dilakukan oleh pengikut mereka di setiap zaman. Mereka ini sebenarnya adalah orang-orang yang dipengaruhi oleh bujukan hawa nafsunya sendiri dan berpegang kepada ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits secara harfiah atau tekstual. Mereka beranggapan hanya mereka/golongannya sajalah yang paling benar, suci dan murni, sedangkan orang lain yang tidak sepaham dengan mereka adalah sesat, berbuat bid’ah, kafir dan musyrik! Mereka ini tidak sudi mendengarkan siapapun juga selain orang dari kelompok mereka sendiri. Mereka memandang ummat Islam lainnya dengan kacamata hitam, sebagai kaum bid’ah atau kaum musyrikin yang sudah keluar meninggalkan agama Islam ! Padahal Islam menuntut dan mengajarkan agar setiap muslim bersangka baik/husnud-dhon terhadap ummat seagama, terutama terhadap para ulama. Membangkit-bangkitkan perbedaan pendapat mengenai soal-soal bukan pokok agama –yakni yang masih belum tercapai kesepakatan diantara para ulama– menyebabkan prasangka buruk terhadap mereka atau dengan cara lain yang bersifat celaan, cercaan, tuduhan dan lain sebagainya.