Pemerintahan SBY mungkin harus belajar pada pemerintahan Gus Dur dalam membebaskan tenaga kerja Indonesia (TKI) yang berkasus di luar negeri. Tidak hanya mengandalkan diplomat-diplomat yang bertugas di Arab Saudi, almarhum Gus Dur pernah langsung menelepon Raja Fahd dan meminta TKI dibebaskan.

Mantan anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Yenny Wachid, mengatakan ini terjadi saat salah satu TKI di Arab Saudi bernama Siti Zaenab dijatuhi hukuman pancung. "Gus Dur sendiri yang langsung menghubungi Raja Fahd (Raja Arab Saudi saat itu) dan melakukan lobi-lobi agar hukuman itu tidak dijatuhkan," katanya ketika dihubungi, Selasa 21 Juni 2011.


Yenny mengatakan diplomasi yang dilakukan oleh Gus Dur adalah diplomasi tingkat tinggi yang melampaui batasan-batasan diplomasi umum. Artinya, Gus Dur sebagai kepala negara langsung berhubungan dengan kepala negara Arab Saudi. Meski tidak bisa mengingat satu per satu, Yenny mengatakan Gus Dur banyak melakukan lobi semacam ini untuk membebaskan warga negara Indonesia di luar negeri.

Beberapa di antaranya, kata Yenny, adalah kasus TKI yang terlibat perkelahian dengan sesama TKI di Arab Saudi. Tim Gus Dur termasuk dirinya sendiri sampai mendatangi keluarga TKI tersebut untuk meminta maaf. Pasalnya, TKI baru bisa dibebaskan dari hukuman setelah ada kata maaf dari keluarga. "Kami sampai datang sendiri ke rumah mereka di Madura," katanya.

Yenny juga mengingat ada WNI di Singapura yang dijatuhi hukuman cambuk, lalu dibebaskan juga setelah Gus Dur turun tangan melakukan lobi.

Menurutnya, Gus Dur berani menembus batasan-batasan birokrasi yang kaku untuk menyelamatkan warganya. Kepala negara yang melakukan ini bukan cuma Gus Dur, kata Yenny. Bahkan, Bill Clinton setelah tidak menjabat Presiden Amerika Serikat pernah melakukan hal serupa.

Bill Clinton pernah melakukan lobi langsung kepada Pemerintah Korea Utara untuk membebaskan warga Amerika Serikat yang ditahan oleh negara itu. Hasilnya, lobi itu berhasil dan warga negara Amerika Serikat itu akhirnya dibebaskan.

Memang tidak harus kepala negara yang mengambil langkah itu. Bisa jadi ini cukup dilakukan oleh Menteri Luar Negeri. Jika tidak berhasil, barulah presiden yang harus turun tangan. Apalagi perwakilan Indonesia di Riyadh sebenarnya sudah tahu mengenai keputusan ini sejak Januari lalu.